Minggu, 19 April 2009

INDIE = konsep, mental, dan ideologi

Oleh : Toni "TELAGA"
saran : Baca Sampai Tuntas,,Then make Comment

Teramat klasik dan monoton ketika kami harus membicarakan independent dari sudut pandang yang beragam. Independent (baca: indie) memang sebuah eskalasi konsep yang bebas merdeka ketika harus di tinjau dari sisi hafiah bahasanya, terlepas dari penerapannya. Seluruhnya adalah berakar dan bermuara pada konsep, mental, dan ideologi, 3 aspek penting tersebut yang harus menjadi pondasi pembangunan scene indie tersebut.
Independent adalah tidak terjamah oleh trend, dan murni sebuah idealisme tentunya, dan di belahan dunia manapun penjabarannya demikian. Adalah menjadi tanggung jawab bersama pelaku indie untuk melakukan pelurusan dan penterjemahan ideologi indie pada khalayak dan pada diri sendiri karena sadar atau tidak, benar atau salah indie kini adalah “komoditas” industri pelaku bisnis entertainment, koridor indie telah meleset jauh dari proses indie itu sendiri..kami tidak munafik terhadap trend, duit, dan popularitas dari perhelatan segala bentuk dan jenis entertainment, tapi kami menyumbangkan opini independent ini untuk pokok bahasan penghantar tidur…….
Kami disini hanya mampu menilik pada koridor musik, karena kami menjalankan dan pelaku musik. Coba kita mulai dari cerita pinggiran konsep pemahaman dasar dari siswa kelas II SLTP di sekolah yang tidak bonafide dan pinggiran kota lagi (yang hafal seluruh lagu D’Massive, kangen band, BBB, di tambah lagi mp4nya full dengan lagu dari band-band yang banyak di sentil Ryan pelor host Thursday Riot prambors Jakarta…hikihikik) , dia memiliki anggapan bahwa musik indie adalah musik yang tidak kebanyakan dan sulit untuk mendapatkan ketimbang untuk mendapatkan mp3 dari ST 12 dan Ungu, apakah jawabmu??....( malahan ada yang berpendapat indie itu wasting time, kalau ujung - ujungnya kepingin seperti peterpan atau lambofGod…sialan tuh anak…hehehe)
Pertama, mungkin ada benarnya anggapan ringan tersebut. Kita dihadapkan pada artikulasi mainstream dan komersilitas. Kita menghindar dari mainstream tapi tetap saja kita terjebak komersilitas melalui prinsip-prinsip ekonomi, adanya proses jual beli dan sejenisnya toh jika di kembalikan pada arti kata ya tetap aja komersil. Semuanya adalah mata rantai yang cukup jelas benang merahnya, serta ketika single dari explosions in the sky sebagai soundtrack film mainstream sama halnya explosions in the sky harus membuat materi yang layak dengar untuk keseimbangan jalannya proses penjualan yang saling menguntungkan serta kode etik pebisnis entertainment.
Ada kalanya pelaku indie mengemas tampilan mereka se “aneh” mungkin agar klaim dan image independent terpatri pada mereka sekalipun soul dari “kebebasan” masih tarik ulur dengan management dan pertimbangan eksistensi serta survival dari band. Mulai dari style, image, dan musikalitas yang di buat kurang “enak” di telinga sehingga khalayak menggangap kelaikan indie mereka mumpuni, upps…nah..ini sebenarnya 2 pandangan yang beragam. Kontradiksi banget ketika band “A” semisal mengkultuskan Radiohead sebagai influence “mutlak” musik mereka dan ternyata Radiohead yang disana adalah band mainstream di negerinya. Ironis memang ketika kita melihat teman - teman yang “seperti” Radiohead CD mereka hanya terjual 500 keping dan itupun teman sendiri yang membelinya, di tambah lagi perform mereka hanya di tonton segelintir orang, padahal Radiohead mungkin ketika perform di stadion Wembley London disesaki penonton dan tiket mereka sold out dan terbajak…wuff, ini pasti masalah kultur dan kuping kita…hiikz..
Barangkali pemahaman independent kita yang kurang dan belum sepenuhnya utuh, sehingga kita kerap terjebak media dan informasi, kita di buai iming – iming popularitas dan duit sehingga etika ber”indie ria” terkesampingkan, “chandradimuka” kita kurang sehingga kita “belum” loyal pada idealisme. Tidak satu dua band indie kita yang “wannabe” terhadap band influence mereka, sengaja mengonsep musik mereka se “Eropa” atau “Amerika” sekalipun dan ketika karya mereka tercipta ada sebuah kekurangan dalam pribadi kita karena kita di tuntut untuk seperti “mereka”, permasalahanya ketika publik menyadari dan mengetahui keberadaan band – band influence tersebut apakah mereka masih mau berapresiasi terhadap kita??, simple aja. Semisal telaga berinfluence “kuat” pada Paul Simon, apakah mereka mengakui keberadaan telaga dengan karya orisinil telaga sekalipun??... ataukah mereka lebih memburu mp3 dan berapresiasi pada Paul Simon karena mereka menggangap telaga adalah copycat dari Paul Simon. Nah…disini di butuhkan keterkaitan scene 1 dengan scene lainnya untuk saling support sehingga masing - masing band dapat survive di komunitasnya, betapa indahnya perbedaan dan kebersamaan. Contoh telaga itu adalah “miniatur” dari pelaku indie tanah air ini, tinggal bagaimana semua mencermati dan menterjemahkan contoh tersebut.
Teman - teman EfekRumahKaca (ERK) berupaya menyentil kondisi pasar musik kita yang memiliki tematik seragam(lagu cinta melulu…huhuh..hu..) sehingga tidak ada beda band 1 dengan band lainnya, tapi kita tidak bisa menutup mata pada teman - teman kita yang berkonsep indie tetapi ber ide dan tematiknya pun tidak ada bedanya dengan band - band yang di sentil efekrumahkaca ( lho..bukannya edson, copeland, blocparty, mum, dan explosionsinthesky juga ada banyak lagu cintanya….hehehe ). 2 jempol deh buat teman - teman ERK yang memberi “pelajaran” pada public (coba ajukan ke instansi terkait untuk meminta fatwa MUI bahwa mendengarkan lagu-lagu cinta adalah cengeng dan cemen, seperti ketika era soeharto, pak harmoko ketika menteri penerangan mencekal Betharia sonata dengan lagu hati yang luka sebagai lagu cengeng……wuakakakakakak, tapi ojok rek iku hak asasi, statement bung harmoko adalah cerminan persaingan dan perhelatan bisnis hiburan yang sangat…ya begitulah…hiiikz). Tematik tidak dapat di angkat sebagai absolute point untuk menetukan indie atau tidak, karena indie di mata kami adalah kebebasan yang mengakar. Kebebasan yang mengakar adalah kebebasan berpendapat dan berkarya, bebas dari rules tentang metode penjualan, prisip ekonomi, dan penentuan arah. Cepat atau lambat indie akan akan menjadi eksploitasi dari bisnis - bisnis hiburan tidak peduli apapun genre mereka ( lamb of God, pearljam, dan sepultura aja major label kok…wuakakak ), kita akan diperah untuk dapat menaikan rating penjualan, playlist infotainment(untuk menghias layer kaca menemani dewi perssik..hiiks, atau mengisi promo produk dan launching kosmetik dan bank sehingga memaksa adik-adik kita untuk tidak mengerjakan PR dan membolos sekolah hanya untuk lihat infotainment…hiikz), yang semua itu “bertolak” belakang pada idealisme teman - teman pastinya. Jujur, lambat laun kita akan dengan sadar “kehilangan arah”. Menjamurnya moment yang mengatas namakan indie di pelaku bisnis kapital, dan itu harus memaksa kita “mengakui” keberadaan pola bisnis tersebut yang memanfaatkan moment trend indie, ( kayaknya ini tidak perlu di jabarkan..toh kita sudah sama - sama tahu ntar malah menjadi anggapan kita mendeskriditkan hal tersebut ). Ada kalanya ketika kita berbicara tentang sebuah produk band indie atau tidak, kami sepakat dengan teman – teman di Blingsatan yang mengatakan bahwa indie adalah minoritas. Minoritas dari komunitas dan label dari produk band itu sendiri, kenapa ????........( hanya arif yang tahu jawabnya…hehehe)
Entertainment itu sama saja di belahan dunia manapun. Aturan – aturan baku dan “undang – undang” yang mengaturnyapun sama. Ungu, Peterpan, dan Nidji mempunyai managerial seperti halnya Beyonce, U2, ataupun Nirvana ( lain halnya dengan pendapat teman - teman VOX yang beranggapan “biar aja kami di anggap band mainstream kelak, wong sheila on 7 juga dulu sewaktu indie jogja di jamannya juga bukan band mainstream tapi sekrang mainstream kok…hehehe…setuju!!). Skala popularitas dan kesiapan mereka besar, mulai dari website resmi, riders, dan selebrasial yang di kemas secara professional dan elegan. Apakah hal itu sudah dan sedang terjadi pada teman - teman indie kita???....nah itu tadi sesuai apa yang di katakan oleh Blingsatan, skala minor label itu kecil, akan tetapi tetap saja memakai pola dan system managerial yang sama dengan yang tersebut tadi, so, bedanya hanya di besar dan kecil. Situasi tersebut prinsipil banget, tidak satu dua band indie yang mau “balik kandang” ketika mereka telah “besar” yang notabene di besarkan oleh komunitas mereka. Jangan kaget ketika sebuah EO amatir scene yang mengundang band indie untuk mengisi di event komunitas di sodorkan riders yang sangat “fantastis” nilai nominal yang di ajukan, tentunya sangat mencekik EO tersebut. Seharusnya kita jangan “kalah” dengan politikus yang pandai dan menggadang - gadang metode “politik kandang ayam”( mereka di besarkan oleh partai dan sepenuhnya akan di peruntukan partainya, semisal roadshow di luar kampanye dengan partainya, padahal politikus tadi telah menjadi pejabat penting yang telah terikat oleh protokoler ) yang tidak mematok harga untuk event partainya….hehe…tidak nyambung khan…. EO - EO amatir untuk menyewa sound dan perangkat band serta publikasi saja kadang sudah “senin-kamis” nafas mereka, itupun masih harus bertemu riders - riders band - band indie.
Sebesar apapun band indie tersebut harus faham grass rootnya, komunitas sebenarnya sudah cukup sebagai amunisi eksistensi kita, sumbangsih dan peran serta aktif mereka sangat terasa pada kita ketika kita bisa merasakan apa yang di rasakan oleh komunitas. Kehadiran mereka di gigs - gigs kita sekalipun di sudut - sudut distro, street gigs, dan sudut kota sekalipun, itu sudah sangat berarti bagi eksistensi sebuah band indie manapun. Seandainya ada penataran, symposium, atau dialog yang membahas indie dan independent selama 1000 jam pun tak akan menemukan hasil….hehehe ( sebab setiap orang kan cara pandangnya berbeda…huhu..uhh). Bagaimana pun juga kita juga harus memikirkan perut dan uang pulsa serta beaya rental studio (bagi yang tidak punya studio sendiri..hiiikz). Terserah saja the changcutters, the upstairs, dan superman is dead “di pinang” oleh major label, itu hak asasi mereka. Siapa sih yang mau membuang “kesempatan” (padahal perform, syle, dan musikalitas mereka banyak kita temui di event – event indie lho…nah..apa yang kakek bilang khan, mainstream atau tidak itu bukan ukuran indie atau tidak), tapi sebagai pertimbangan ideologi dan moral serta mental kita yang mengusung nama dan casing indie adalah tanggung jawab kita sebagai pelaku independent untuk berjalan dalam koridor indie secara hakiki…hiiiikkkzzz(sekalipun julukan “macan” ataupun “kadal” pensi-pensi SMU yang terus memaksa kita untuk memburu osis-osis atau sebaliknya).
Seideal apakah band indie seharusnya?? setidak komersil, non mainstream, dan se asing seperti Mars volta, the Datsun, atau God is an astronout???..,
atau se easy listening seperti Ungu, Kangen band, dan ST 12 tapi indie konsep terapannya??? (bayangkan jika ungu dkk merubah tematik lagu mereka tapi tanpa merubah musik mereka, kemudian mereka melangkah dengan cara-cara underground kemudian perform di street gigs dan di sudut-sudut distro??..bayangkan..). Ya sudahlah kami sudah jenuh dengan tulisan ini yang tidak ada ujung pangkalnya dan berputar – putar pokok bahasanya (seperti sinetron yang mengejar iklan dan rating penonton…hiikz).
Resapan dari tulisan ini andalah jurinya, kita semua sesama pelaku indie setidaknya bersama kita membangun kultur, dan scene musik lokal kita mumpuni dan berbobot. Kita tidak boleh berhitung tentang apa dan siapa kita, besar dan kecil kita. Tugas dan tanggung jawab kita mungkin memberikan porsi pemahaman yang cerdas kepada publik sehingga kita dapat di terima secara matang tentang apa dan siapa kita. Tulisan ini masih tambal sulam pengadaan referensinya, bersama kita belajar dan membangun scene.
Tulisan ini di tulis dengan penuh kesadaran, tidak sambil mabuk, atau like dan dislike. Di tulis dengan penuh pengharapan dan cita - cita, sebab landasan tulisan ini hanya semata - mata tanggung jawab kita bersama memikul dan membesarkan scene kita dengan hati, jiwa, waktu, duit, dan pemikiran…hiiikz. Paling tidak sebagai pemahaman kepada pemula agar mereka tidak salah kaprah terhadap indie dan pergerakannya ( minimal tidak di gunakan adik-adik kita sebagai trend belaka, sebagai tameng arek band indie untuk menunjukkan kepada cewek kelas sebelahnya yang di incar “ woi..ikiloh aku arek band-band’an indie!! Atau indie sebagai gaya-gaya’an untuk meyakinkan cewek incarannya. Hal atau kejadian tersebut harus kita minimilasir sedemikian rupa melalui tulisan busuk ini…hiiikz), Segalanya adalah kesempatan, segalanya adalah kebersamaan, segalanya adalah pemikiran dan kepedulian. Kami mohon maaf jika ada kata-kata yang menjurus SARA, dan pendiskreditan satu dengan lain. TUHAN mencintai independent dan kita semua. TUHAN memberkati kebersamaan scene independent kita. Bravo and cheers up..

Wassallam
info:
jam 3malam,tiba2 ada sms yg bertuliskan alamat blog,tercium seperti ancaman,namun setelah terbuka blog itu berisi tentang penjabaran diatas,yg menurut saya rasional,dalam hati(tumben toni kok sms macam ini,biasanya smsnya seputar alat2 elektronik yg akan dijual...hehehehehe...promosi kerjaan,,'realistis'),
untuk info saja,,Telaga adalah band indie yg pertama kali memberikan
demonya ke Prambors,,sahat sitorus sendiri yg bilang pada saya!!!!


link for 'Telaga'

-M.Santai-

24 komentar:

  1. sangar....!!!!!!

    pencerahan iki tulisane.....!!!!!

    -budak efek-

    BalasHapus
  2. iki toni telaga rek,
    idialis'e pol-polllan(duduk polkapol lho..hehe)
    wong seng pura2 gak ero opo2,
    padahal duwe pemikiran sing dinamis!!!!

    hidup TONI!!!!!


    -budak efek,tapi saiki wes dadi juragan-

    BalasHapus
  3. and in the end, let the music speak for itself.

    bowie,bolan,bacharach (BBB versiku) menjadi legend karena musiknya. detik ini bahkan orang ga mungkin hafal apa record label nya , distribusi nya gmn.

    apalagi sekarang kebanyakan rilisan apapun akan berujung sebagai mp3 di ipod masing2. attitude memang penting, tapi berujungnya tetep di musik. kalo dengerin nirvana, kita akan merasa mendengarkan cobain yang pahlawan, bukan cobain yang menembak dirinya sendiri.

    idealis itu kuat jika ditancapkan di hati. bukan dieksploitasi di mulut atau diamarahkan di tulisan.

    matur suwun. apik tulisane cak

    BalasHapus
  4. suwun2,buat bang toni,saya selalu mendengarkan lagu telaga adalah lagu2 tanpa pretensi,tulus dan mengalir dengan alami. Untuk tulisannya ternyata mendeskripsikan orang2nya juga,humble and polite.

    BalasHapus
  5. terus terang saya sekarang bingung,karena dulu saya punya mimpi punya band,disukai para gadis dan mungkin nampang dimana2.Ternyata setelah berjalan kok berubah,saya bertemu orang2 yang meneriakkan perasaannya lewat 6 senar atau tabuhan-tabuhan emosional.Ternyata itu to indie,mengeluarkan isi hati ,mulai saat itu saya pun ganti visi misi,tapi beberapa waktu berjalan,saat band terasa tidak ada kemajuan,tujuan itu kembali buram.Tapi saya paksa diri untuk yakin bahwa independensi musikmu adalah untuk menjadi liar,untuk mengeluarkan sisi binatang mu untuk marah pada dunia,marah pada otoritas yang tidak adil,tapi ternyata itu terasa pretensi lagi,akhirnya,kembali tersesat,sedikit tersesat se,soalnya masih meyakinkan diri bahwa musikmu adalah sarana amarah adalah saran bersedih adalah sarana bahagia juga tapi sedikit.sampai sekarang masih meyakinkan diri bahwa musik adalah sarana pelampiasan.Tapi mencoba diubah dengan membaca komik BECK/Mongolian Chop Squad,walaupun setting jepang,tapi inspiratif,dan memberikan contoh humility di dunia musik.Salut buat Harold Sakuishi
    Btw bisa dibaca komik ini di www.Thespectrum.net

    BalasHapus
  6. Nice post gan!

    Btw, laopo iki sing komen anonim kabeh? gak oke...

    Tulisan yg keren dari mas Toni, menjabarkan dengan baik kondisi yang ada, tanpa euforia berlebih pada indie itu sendiri (yg memang tidak jelas pegangannya)

    ber”indie ria” - hahaha diksi yang menggelitik dan bagus!

    kita akan dengan sadar “kehilangan arah” - kalimat yang dengan sadar menunjukkan bahwa kehilangan arah itu memang benar-benar terjadi

    jadi, setuju sama joseph, it's about the music itself, afterall... music came first darling... jadi mana musiknya? hihihihi....

    dan, para anonim... selamat ber-anonim-ria hahaha

    BalasHapus
  7. hahhahahahaah....
    menurut saya knapa kok anonim,kok gak nama?
    karena malu melihat kapasitas diri kita
    yg notabennya "masih muda"(Belajar terusss).
    meski di mellon zine,sbylastcityhero,dll.
    jadi cukup diwakilkan oleh sifat
    Contoh:
    -BudakEfek-(keranjingan efek gitar)
    -M.santai-(madura tapi santai,gak koar2)
    dan lain2
    hahhahahaha......opo wae seh!!!

    @anonim 1= om yongki selak tuo,,ndang gawe
    adaptor,,aku melu
    @joseph = skema'ne endi rek,,jare dikirim
    nang Email????
    @Jay = ayo nyumbang'o posting,orang2 lapangan/
    media dibutuhkan disini.

    mengutip dari Toni
    mari kita bersama memikul dan membesarkan scene kita dengan hati, jiwa, waktu, duit, dan pemikiran.

    SUROBOYO DADI SIJI (entah berapa kali diucapkan ama orang2)

    BalasHapus
  8. ya kalo malu gak usah komen.

    berani bicara berani mengakui :)

    aku ga duwe skema efek layaknya musisi dahsyat hehe

    cukup bass colok ampli trus maen. piye maneh iki ?

    @jay : kowe gak kerjo ta kok malah komen2 ?

    BalasHapus
  9. @joseph: kowe gak rekaman ta? kok malah komen2? komen2 tok ae endi lagune???

    BalasHapus
  10. @jay : cuk. oleh gak koncone iki berjiwa muda, melu komen di forum trendi iki. wes gak usum saiki rekaman. iku wes mainstream. saiki suicide lebih cult.cult.cult


    @mas toni : aku minta demonya yg baru dong kalo ada, aku seneng karo band sampeyan

    BalasHapus
  11. @joseph: bwahahaha, usia tidak bisa ditipu gan! suicide can't pay your bills gan! om joseph minta demonya juga dong dong dong!!!!

    waduh, lali aku kudu kerjo yoo...

    ayo sundul lagi gan! up up!

    BalasHapus
  12. @jay : aku ga niat menipu usia kok. hobiku paling menipu wanita hehehe. kalo buat adek jay gak perlu demo, bass ku aja aku kasih kalo berminat. tapi ga bole buat ngeband mainstream ya HAHAHAHAHAHA

    jay, kowe pindah kerjo dadi komentator ae...
    sedap rasanya ngejunk di page orang

    CENDOL MELUNCUR BUAT TS !

    BalasHapus
  13. @joseph: aku gak seneng ambek mainstream!!!!
    tapi aku bakalan dadi mainstream,,
    kurt cobain ae mainstream,,
    ngancur-ngancurno gitar,,mati muda,,
    koyok the who,,hendrix,,jim morison,,dll.
    (meloki jalur'e rocker kan!!),,
    kok gak nyambung!!!
    hahahahahahahaha........
    skemane vega ato doni yo gpp,,
    gawe referensi..


    @ ALL: Blog iki duduk gawe gaya2an lho yo,,
    cuman media gawe arek2 suroboyo supoyo
    terexpose,,bukan untuk saingan antar media
    ato saling menjatuhkan,,aku dewe yo duduk
    wartawan,,blog iki urip karena sumbangsih
    posting kalian2!!

    BalasHapus
  14. suwon sing katah rek! tapi jujur iki aku nulise gak onok tendensi opo2 rek! murni dari opo sing telaga lakoni....hihihikikik. sepenuhnya adalah persamaan hak kita dalam mengeluarkan pendapat seperti apa yang di tulis dalam UUD 1945...hehehe...gak nyambung puuooll..

    BalasHapus
  15. bocoran: setelah membuat EP "ALTRUISTIK SERIES" plan ke depan full lenght telaga bertittle " DIE GEZAMTE STAAT GEWAIT LIEGI ALLEIN BEI DER " yang artinya " KEKUASAAN MENDASAR ADALAH KITA YANG BERKUASA " demikian kurang lebihnya dalam bhs indonesianya..hehehe..ga penting ya..ya..ya..hihkihkih

    BalasHapus
  16. ya wis ngaku iku anonim aku,tapi lak wes eruh se.
    Masih muda,masih larut dalam pretensi,perlu banyak belajar.Masih muda,jiwa nya belum stabil untuk mengontrol omongan,tapi berusaha diperbaiki,berkata "berusaha",karena kadang masih pake emosi dan intuisi yang kadang membutakan mata hati.

    BalasHapus
  17. @amir:terima kasih dukungan moril e selama iki.

    BalasHapus
  18. tetap yakin&kerjakan apa yang kamu sukai.

    BalasHapus
  19. ....itu saja,terimakasih.

    BalasHapus
  20. glek glek...(me-ngelek idu...)

    sebagai orang lebih baru dan lebih belajar dr yang di atas mengetakan demikian...

    indie...memang konsep yang gak kepotong ma orang2 di balik layar sebuah label...

    bs eksplorasi sesuka hati..FREEDOM!!!

    tapi aku selalu terharu dengan RAGE AGAINST THE MACHINE...
    yang sepertinya da ikut label gede 'mayor'

    tapi tetep berkoar dengan dahsyat!!!!

    FREEDOM!!!!FREEEDOM!!!!yyiiiiiiaaaarrrgghhh.....

    mohon petunjuk!!!

    respect
    -lery-(DOSALERY)
    yamaha GRX010 dg dua combo PEAVEY mexico.

    BalasHapus
  21. Hmm, wondering..
    trus kalo suatu hari musik indie jadi mainstream, apa harus ditinggal dan dibuang?

    lagipula menilik makna indie dan mainstream kaya'nya g ada pertentangan.
    It's totally different, pals!

    BalasHapus
  22. ideologi manusia berbeda2,,
    tidak bisa di intervensi dg orang lain.

    karena jiwa tak dapat dibeli,,
    jiwa dan pemikiran!!!!

    BalasHapus
  23. sik terus ae iki hahahaha,ancuk iki tulisan gak onok matine.Bener2 timeless.Btw Buat Cronix dan Ben junior jok tukaran nang kene,Ben senior engkok ndelok lo

    BalasHapus
  24. hopefully someday our children would read this.. and be proud of their awesome dad..

    (janeakeland)

    BalasHapus

Tinggal komentar,ciuman,sentuhan dan Paksaan!!!