Rabu, 10 Juni 2009

Recode The Revelation Album Launching

"The Gospel of Titik Koma"

Launching album ini sebagai gospel according to Titik Koma. Akhir tahun lalu, selang beberapa minggu setelah rilis mereka di retail-retail toko kaset dan CD di Surabaya, terlayang surat dari ormas yang menyatakan bahwa salah satu lagu dari album mereka yang berjudul "Atas Nama Tuhan" dikatakan tak layak dengar karena isu SARA yang dinilai kental dengan penodaan suatu agama, well of course kalian tahu siapa-siapa pimpinan mereka saat ini yang mendekam di balik terali besi karena religious act yang bar-bar. Mungkin saja mereka tersinggung bahwa penafsiran mereka tentang perintah-perintahNya dinilai salah dalam lirik lagu ini, padahal tujuan lagu ini ingin membuktikan bahwa setiap kekerasan yang berhubungan dengan agama tidak pernah dibenarkan, karena agama adalah rahmat bagi semua manusia, ironisnya surga terlihat lebih diagungkan daripada Tuhannya sendiri. Recode The Revelation pun bukan bermaksud untuk mengajak mengubah isi kitab suci tapi merupakan ajakan untuk sekali lagi, menafsirkan kembali misteri yang ada dalam kitab agar tentunya muncul kebenaran sejati.

Launching album ini nampaknya seakan menjadi ajang pembuktian bahwa dengan segala penundaan dan usaha untuk menghalangi penyebaran tiap kopi album ini tidak ada pengaruhnya terhadap semangat menyatakan pendapat mereka dalam kesadaran berdemokrasi dan hidup dalam negara yang demokratis. Ok, enough the fuss, let’s talk about the goodies. Launching album Recode The Revelation tertulis di pamflet dimulai jam 14.00 WIB, saya pun datang ke venue kurang lebih pukul 15.00 WIB dan voila suasana masih hectic, pendukung acara sibuk menyiapkan meja ticketing, dan tak satu pun pengunjung terlihat. I’m the first man on the spot. Well, ternyata, puji Tuhan alat-alat sudah siap sejak siang. Sebuah kemajuan bagi Indonesia. Acara kemudian dimulai satu jam kemudian, tepat jam 16.00 WIB dengan pembukaan oleh MC, yang kelihatannya dadakan dan terlihat dalam keterpaksaan, mungkin karena penonton yang masih “dapat dihitung tangan” (biasa… acara berbayar, baru ramai saat “malam”). Well, it doesn’t matter, yang saya lihat di sini adalah line-up band yang akan tampil seperti : Strawberry Shortcake, Happy Holiday, No Entry (yeah.. No Entry, something eared absurdiant avant-garde huh?? Cult-rock act yang bahkan salah satu lagunya tak berlirik dan berinstrumen tapi tetap menghibur. Sugenk still alive!!!), Papa Onta Cult, Under My Throat, Smell Street, Albert and The Products, Silly Voice, Never Ending Story, Screaming Out, The Sinners, Incarnation dari Malaysia dan terakhir the main attraction Titik Koma.

Strawberry Shortcake membuka pertama dengan lagu-lagu pop punk, begitu pula Happy Holiday, tipikal sangat SMA, at least still entertaining. Namun rupanya persiapan sound yang matang tidak didukung pula reverb ruangan yang baik. Semuanya terkesan tak terfokus sehingga apa yang dinyanyikan terdengar seperti gumaman tak jelas, terpaksa saya beranjak dari kenyamanan lesehan dengan maju ke depan. Disini terdengar lebih baik, dengan sound monitor yang memperjelas semuanya. Akhirnya kedua opening act menyelesaikan sesi mereka. Tiba saatnya Sugenk dan kawan-kawan No Entry naik panggung. MC memanggil mereka namun belum ada tanda-tanda, rupanya personil mereka belum lengkap, MC pun bersikeras agar mereka naik panggung, dan ya… dengan segala profesionalisme, mereka pun setting alat dan mempermainkannya. Prematurely beautiful, yeah itu yang saya tangkap dari musik mereka. Secara standar umum, musik mereka tak indah, tapi dalam keadaan tak berstruktur itulah terdengar kebebasan total yang tak terbatasi oleh konsep chorus dan verse, chord dan rythm, begitu free layaknya freejazz. Apakah ini yang disebut freemetal?? Haha..!! Berikutnya satu band lagi dengan nama aneh yaitu Papa Onta Cult yang menurut apa yang tertulis di profil myspace mereka post-punk adalah kiblat mereka, dimana era revival-lah mereka berada. Penampilan Papa Onta dibuka dengan sambutan yang agak canggung dan terlihat tak bersemangat. Dilanjutkan lagu pertama mereka Slaughterhouse, sebuah hujatan terhadap perburuan ikan hiu untuk sup sirip dan kulit binatang untuk pakaian. Slaughterhouse terdengar catchy dengan nada bas monoton namun dengan ritme ganjil dan gitar yang menusuk. Applause for these fellas! Kemudian tiba saatnya Under My Throat menghajar tenggorokanmu dengan technical death metal mereka, namun masih terlalu sore untuk pesta rupanya. Audience belum ada yang mengayunkan tangan dan kaki untuk slam-dance and headbang.

20 menit berlalu, Smell Street get on the stage. Trio yang kemarin sukses show di Jogjakarta ini membawakan Escape From Three Corner dengan apik dan tentunya psikadelik, disusul dengan Pink Slip dan dilanjutkan epik kebakaran pasar pabean di daerah Ampel berjudul Momentum Of Fire, intro yang pelan menipu saya untuk mengira lagu ini slowpaced ternyata disusul dengan irama rancak yang dibalut lick sangat metal dan Arabik untuk momen kebakaran, begitu ikonik untuk lagu psychedelic blues ini. Saya pun standing applause untuk mereka. Sesi pertama ini pun diakhiri dengan break maghrib yang begitu singkat datang karena molornya acara, namun memuaskan dan menyisakan Albert and The Products, Silly Voice, Never Ending Story, Screaming Out, The Sinners, Incarnation dan Titik Koma.

Albert and The Products come to see ‘em naked their foot-bangings with the never-going up-adult frontman, Obek. Tampil dengan irama garage rock-new wave yang sayangnya dari awal, sound-out terbungkus dengan setting-an metal yang menutup beberapa sound-sound alternatif menjadi sedikit terasa distortif dan metal. What a stupid word I’ve said?!! Silly Voice terasa mantap ketika menggeber produk-produknya yang sangat cocok dengan karakter sound-out yang metal dan bergema. Suara vocal terdengar semakin jelas karena gema-gema sudah mulai diredam oleh tubuh-tubuh tiap pengunjung malam itu, apalagi di salah satu geberan produknya, sang bassis memutarbalikkan (bukan fakta,RED) instrumen-senar-empatnya dengan cantik di tengah-tengah lagu. Different thing huh??!! (not so common at some metal gig for comparing). Well, begitu pula dengan NES (Never Ending Story), band yang bergema di mulut-mulut mereka yang kemudian sampai membuat telinga saya bergema percaya bahwa musik rock yang mereka bawakan masih bisa divokali beberapa suara pop khas sang vokalis, Yopie, yang juga memungkinkan sekali untuk suara scream. Sangat alternatif, meskipun malam itu saya sempat terkecoh dengan setting-an mixer indoor yang terasa menusuk secara metal. Berikutnya Screaming Out yang berteriak dengan vokal-vokal HC oldskool tanpa paksaan growl atau sekalipun memaksa screaming dengan hentakan guerrilla dan sing along bersama dengan beberapa HC kids yang tidak canggung memporak-porandakan crowd “menonton wayang” yang terasa membosankan dan tenang-tenang saja. (Haha..!!).
Begitu juga dengan The Sinners yang mana orang-orang berumur kerja ini tetap semangat dengan senang dan hip-hip hura crusty punk mereka. Hentakan bass drum si Andri Telek tak pernah terkalahkan oleh rasa capeknya sendiri sebagai drummer rangkap Screaming Out. Circle chaos sempat terjadi di antara giggers yang membosankan (Lagi-lagi..!!). Well, young ‘till they die.

Selanjutnya, Incarnation, band metalcore dari Malaysia. Growl sang vokalis hampir merobek tatanan kepribadian mic panggung diiringi raungan senar-senar dan beat-beat metalnya, meskipun ada sedikit unsur oldskool dari sentuhan HCnya. Grindin’ yer. throats!!




Well, finally, the last and the blast, Titik Koma. Dari awal mungkin kualitas sound-out sebenarnya sudah ter-setting metal, yang lagi-lagi sayangnya terpantul sendiri oleh deretan dinding-dinding indoor ruangan dimana gig berlangsung. Lutfi sedikit menjelaskan visi album Recode The Revelation tentang pengintepretasian kitab suci untuk menghilangkan pandangan fanatisme ekstrim dan fasisme. Langsung diteruskan tembang Recode The Revelation diikuti moshing crowd. Pada saat lagu Silent Killer, Yadd sang vokalis dari Incarnation berduet dengan Lutfi. Sayang sekali pantulan-pantulan suara ruangan semakin membuat noise. Ditambah lagi ketidaktepatan posisi saya di depan panggung untuk mendengarkan mereka dari sound-out.
Dua lagu bergulir dengan reverb dan delay ruangan yang parah namun crowd tidak peduli dan tetap moshing sampai akhir pertunjukkan. Total kurang lebih selusin lagu mereka bawakan. Overall, launching ini begitu variatif dengan line-up yang terdiri dari beragam jenis musik yang ada di Surabaya. Namun tempat yang tidak audio friendly membuat semua seakan kurang tercerna dengan baik. Well, it’s a great album launching from Titik Koma. Sukses selalu buat Titik Koma dan scene kita yang plural.





FriendzineSBY signing off

Written by Tuan Alfan dan Tuan Kentang
Edited by The Damnass

Photos by Ucha Rocks


1 komentar:

Tinggal komentar,ciuman,sentuhan dan Paksaan!!!